lie is a lie even the white ones. Sooner or later it will hurting.
Aku ingat saat aku dan Ueda berdebat masalah agama. Ueda tak beragama, di hanya percaya ada roh suci yang mengontrol jagad raya, seperti teman, seperti manusia yang nyata. Sedangkan agamaku, moslem, aku percaya Allah swt, tak dapat didefinisikan sebagai manusia ataupun benda. Dia ada di mana-mana. Tuhanku ada di mana-mana, hidup dalam pikiran, dalam darah, dalam setiap nafas, kataku waktu itu pada Ueda.
Kata Ueda, kalau dia melakukan sesuatu hal yang baik, Tuhan akan memberinya pahala, dan membalas kebaikannya dengan hal-hal baik. Misalnya dia menolong orang tua menyeberang jalan, suatu ketika saat dia kesulitan, dia akan menagih Tuhan atas kebaikannya itu.
Aku bertanya, mengapakah manusia menjadi pamrih pada Tuhan. Jikalau tidak ada pahala dan surga, apakah manusia tetap berdoa dan melakukan kebaikan.
Ueda menjawab dengan tersenyum, dirinya berpengertian bahwa Tuhan menyediakan semacam reward untuk kita, dan kita bisa mencairkan reward itu pada saat kita menghadapi kesulitan.
Pengertianku sungguh berbeda, kukatakan padanya, justru kita yang seharusnya membalas kebaikan Tuhan, setiap pagi Tuhan yang membiarkan mata kita kembali terbuka, membiarkan hidup kita menghirup udara segar, membiarkan kita makan makanan yang penuh berkah, dan memberi kita kesehatan agar terus bisa beribadah dan mengingatNya.
Ueda mengerutkan alis.
Aku tersenyum padanya.
Dia membuka mulut dan bertanya, apakah Tuhanmu juga mengizinkan manusia untuk berbohong. Aku menjawab cepat, tentu tidak.
Ueda menoleh, dan berkata dengan lirih. Aku benci padamu, mungkin itu satu-satunya jalan agar persahabatan kita tetap terjaga.
Aku heran. Apa maksud perkataanmu. Aku memegang pundaknya, seakan mencoba memaksa Ueda untuk meralat apa yang baru saja dia katakan.
Ueda menunduk kembali, kamu bohong katanya.
Aku kaget mendengarnya. Apa maksudmu Ueda, aku sungguh tak mengerti.
Tuhan baru saja membiarkanku berbohong, katanya.
Berbohong apa, aku mendesaknya untuk bicara.
Aku baru saja melakukan white lies, apakah Tuhan mengizinkan white lies, dia kembali bertanya padaku.
menatapku lekat, bohong tetaplah bohong Hanna, meskipun yang putih sekalipun. Tuhan tak pernah melarang manusia untuk berbohong, Dia membiarkan kita melakukannya. Membuat kita sakit atas apa yang kita lakukan.
Aku memegang tangannya, mencoba tegar dengan kata-kata terakhirnya, Ueda Tuhan memang membiarkan kita berbohong, bahkan seakan jika kau lihat Tuhan membiarkan kita membubuh saudara kita, memperkosa wanita lain, berselingkuh, curang dan perbuatan yang buruk lainnya. Tapi harus kau tahu Ueda, Tuhan sudah punya rencana, bahkan sebelum kita ada, rencana itu sudah dipersiapkan, bahwa Tuhan memberikan semua keburukan sebagai ujian untuk kita manusia, agar selalu mengingatnya, untuk selalu dekat dengannya. Keburukan itu bisa kita hindari Ueda. Mungkin bisa kuralat, keburukan itu ada, Tuhan menyediakan agama untuk menjadi jembatan menghindari segala keburukan itu. Keburukan itu pilihan Ueda, bukan keharusan.
Ueda terdiam, dan berkata, tapi Tuhan baru saja membiarkanku berbohong, kau tau maksudku.
Kau bisa memilih untuk tidak berbohong Ueda.Aku meneruskan, mencoba bersabar.
Tuhan tidak meninggalkan pilihan untukku Hanna, tidak ada pilihan selain berbohong. Ueda tertunduk.
Aku menyibakkan gerai-gerai rambut di wajahnya, lantas mengapa harus berbohong Ueda.
Karena aku harus Hanna, harus, aku tak bisa membiarkanmu dan yang lain tahu, bahwa aku... . Terhenti, kemudian Ueda kembali terdiam.
Bahwa kau apa. Aku menatapnya penuh tanda tanya.
Bahwa aku baru saja berbohong, dan aku bersyukur, Tuhan tahu aku berbohong, tapi membiarkanku melakukannya. Ueda beranjak dan kemudian berjalan menjauh.
terbangun dengan cecap keringat yang membasahi mukaku. Menelesak jauh di dalam hati, Ueda berbohong pada semuanya demi aku dan kebaikanku. White lies. Apalah gunanya orang harus bersusah payah berbohong demi sebuah kebaikan bagi orang lain.Aku tak mengerti.
No comments:
Post a Comment