Mengetuk pintu apartemen Ueda dengan perasaan yang campur aduk, ragu akan semua tindakan yang telah kulakukan, ragu dengan harapan yang terhampar di depan, ragu dengan diri sendiri, ragu dengan apa yang diputuskan, well…apapun itu, untuk ke Jerman dan untuk cita-cita yang hampir terkubur, aku harus, meskipun aku tahu berat untuk menatap wajah Ueda yang akan memohonku untuk tidak pergi.
Aku terus mengetuk, tidak ada jawaban. Kulirik jam tanganku, pukul 4 lebih, tidak seperti yang Ueda harapkan, tapi aku yakin dia tidak akan tidur pada saat ada yang dia ingin bicarakan seperti ini.
“Ueda, ini aku, Hanna, buka pintunya, please” aku terus mengetuk. Sunyi, tidak ada suara, aku mulai khawatir Ueda bisa saja melakukan extreme thing saat dia bingung harus melakukan apa. Berjongkok, aku mengobrak-abrik isi ranselku, mengambil handphoneku, mengaktifkan 3G dan mulai menekan tombol dial untuk nomor Ueda.
Diangkat. Aku langsung berteriak.
“Ueda, buka pintunya, aku mohon” nada suaraku sudah terdengar panic saat dia menjawab.
“sorry, siapa ini?”
“……”
Beberapa saat kemudian pintu depan apartemen Ueda terbuka.
“ini masih pagi eh?” Ueda membuka pintu, memandangku sekenanya, menunuduk lagi dan memalingkan wajahnya.
“aku kehilangan tiketku, aku harap sesuatu yang ingin kau tunjukkan padaku itu tiketku, kumohon Ueda, aku sangat membutuhkannya”
Ueda berpaling padaku dengan pandangan heran.
“tiket eh?” dia bertanya.
“iyah tiketku” aku mulai tak sabar.
“kau akan pergi?” Ueda bertanya, kini pandangan matanya sudah sedemikian menusukku.
“ehm…ehm…iyah” aku salah tingkah, dan mulai kehilangan kata-kata.
“kau berjanji padaku bukan, dan oh thanks God, you lose your ticket, aku senang mendengarnya” Ueda tersenyum kecil padaku yang semakin marah melihat tingkahnya.
“Ueda, aku tidak bercanda, aku ingin tiketku kembali, kumohon” panic akan sikap Ueda yang tidak bisa ditebak, aku mengikutinya berjalan ke arah meja komputernya, sambil terus memohon.
“aku tidak bisa memberikannya, tiket itu tidak ada padaku”
Cukup sudah. Kesabaranku sudah mencapai batasnya.
“Ueda, aku tahu kau tidak akan membiarkanku pergi ke Jerman karena kau memintamu untuk menjagamu, menemanimu di sini, sampai entah kapan itu akan berakhir, tapi mengapa harus aku, ada Diandra dan Sasti yang bisa menemanimu di sini, aku tidak tahu mengapa…” terengah karena berusaha keras menahan tanganku untuk menamparnya, aku melanjutkan berbicara.
“Ueda, please, aku harus ke Jerman, aku mohon beasiswa sekolah fotografi ini sudah lama aku inginkan, aku harus pergi, aku tidak bisa membiarkan impianku ini pergi begitu saja, Ueda aku mohon” kini tanpa sadar aku sudah berlutut dikakinya, memohonnya untuk mengembalikan tiketku.
Menarikku keatas dengan sedikit kasar, dia mencengkeram lenganku kuat-kuat, aku meringis karena menahan sakit, meronta berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat, Ueda terus memandangku tanpa menghiraukan aku telah meronta sedemikian rupa.
“aku tidak menyembunyikan tiketmu, hanya untuk memintamu tetap di sini, aku tidak akan memaksamu melakukannya jika kau tidak menginginkannya” Ueda berbicara, kemudian menunduk, menggigit bibirnya, dengan tangan yang masih mencengkeram lenganku sebegitu kuat.
“Ueda, lepaskan aku, ini sakit” aku momohon.
“tidak, sebelum kau mendengarkan dan mengerti” dia tetap kukuh.
“oke, oke maafkan aku karena telah menuduhmu mengambil tiketku, tapi lepaskan aku, kita bicarakan baik-baik ok” aku mulai tidak bisa tenang berpikir saat lenganku sudah meradang panas dan sakit.
Dia melepaskan sambil sedikit melemparku kebelakang, menggamit tanganku dan menyeretku menuju sebuah kotak. Membukanya dengan satu tanganya yang bebas, dia mengambil kotak berwarna merah marun dan mendorongkannya kearahku.
“aku hanya ingin memberimu ini, tapi mungkin segalanya akan menjadi percuma sekarang” dia melepas tangannya dan pergi meninggalkanku sendirian di depan kotak itu.
Kubuka kotak itu, kemudian yang aku bisa hanya menutup mataku dengan perasaan sangat bersalah.
Menitikkan air mata. Aku mencari Ueda yang berada di dapur, menuangkan kopi ke cangkirnya, berjalan melewatiku, tanpa melihat dan berbicara sepatah katapun kepadaku, seakan aku tidak ada dan tidak terlihat.
Hatiku hancur berkeping-keping saat melihatnya begitu berkorban hanya agar aku bersamanya. Dua tiket ke Jepang untuk kepergian minggu depan, berkeringat pasrah ditanganku yang kelu tak bernyawa.
Aku terus mengetuk, tidak ada jawaban. Kulirik jam tanganku, pukul 4 lebih, tidak seperti yang Ueda harapkan, tapi aku yakin dia tidak akan tidur pada saat ada yang dia ingin bicarakan seperti ini.
“Ueda, ini aku, Hanna, buka pintunya, please” aku terus mengetuk. Sunyi, tidak ada suara, aku mulai khawatir Ueda bisa saja melakukan extreme thing saat dia bingung harus melakukan apa. Berjongkok, aku mengobrak-abrik isi ranselku, mengambil handphoneku, mengaktifkan 3G dan mulai menekan tombol dial untuk nomor Ueda.
Diangkat. Aku langsung berteriak.
“Ueda, buka pintunya, aku mohon” nada suaraku sudah terdengar panic saat dia menjawab.
“sorry, siapa ini?”
“……”
Beberapa saat kemudian pintu depan apartemen Ueda terbuka.
“ini masih pagi eh?” Ueda membuka pintu, memandangku sekenanya, menunuduk lagi dan memalingkan wajahnya.
“aku kehilangan tiketku, aku harap sesuatu yang ingin kau tunjukkan padaku itu tiketku, kumohon Ueda, aku sangat membutuhkannya”
Ueda berpaling padaku dengan pandangan heran.
“tiket eh?” dia bertanya.
“iyah tiketku” aku mulai tak sabar.
“kau akan pergi?” Ueda bertanya, kini pandangan matanya sudah sedemikian menusukku.
“ehm…ehm…iyah” aku salah tingkah, dan mulai kehilangan kata-kata.
“kau berjanji padaku bukan, dan oh thanks God, you lose your ticket, aku senang mendengarnya” Ueda tersenyum kecil padaku yang semakin marah melihat tingkahnya.
“Ueda, aku tidak bercanda, aku ingin tiketku kembali, kumohon” panic akan sikap Ueda yang tidak bisa ditebak, aku mengikutinya berjalan ke arah meja komputernya, sambil terus memohon.
“aku tidak bisa memberikannya, tiket itu tidak ada padaku”
Cukup sudah. Kesabaranku sudah mencapai batasnya.
“Ueda, aku tahu kau tidak akan membiarkanku pergi ke Jerman karena kau memintamu untuk menjagamu, menemanimu di sini, sampai entah kapan itu akan berakhir, tapi mengapa harus aku, ada Diandra dan Sasti yang bisa menemanimu di sini, aku tidak tahu mengapa…” terengah karena berusaha keras menahan tanganku untuk menamparnya, aku melanjutkan berbicara.
“Ueda, please, aku harus ke Jerman, aku mohon beasiswa sekolah fotografi ini sudah lama aku inginkan, aku harus pergi, aku tidak bisa membiarkan impianku ini pergi begitu saja, Ueda aku mohon” kini tanpa sadar aku sudah berlutut dikakinya, memohonnya untuk mengembalikan tiketku.
Menarikku keatas dengan sedikit kasar, dia mencengkeram lenganku kuat-kuat, aku meringis karena menahan sakit, meronta berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat, Ueda terus memandangku tanpa menghiraukan aku telah meronta sedemikian rupa.
“aku tidak menyembunyikan tiketmu, hanya untuk memintamu tetap di sini, aku tidak akan memaksamu melakukannya jika kau tidak menginginkannya” Ueda berbicara, kemudian menunduk, menggigit bibirnya, dengan tangan yang masih mencengkeram lenganku sebegitu kuat.
“Ueda, lepaskan aku, ini sakit” aku momohon.
“tidak, sebelum kau mendengarkan dan mengerti” dia tetap kukuh.
“oke, oke maafkan aku karena telah menuduhmu mengambil tiketku, tapi lepaskan aku, kita bicarakan baik-baik ok” aku mulai tidak bisa tenang berpikir saat lenganku sudah meradang panas dan sakit.
Dia melepaskan sambil sedikit melemparku kebelakang, menggamit tanganku dan menyeretku menuju sebuah kotak. Membukanya dengan satu tanganya yang bebas, dia mengambil kotak berwarna merah marun dan mendorongkannya kearahku.
“aku hanya ingin memberimu ini, tapi mungkin segalanya akan menjadi percuma sekarang” dia melepas tangannya dan pergi meninggalkanku sendirian di depan kotak itu.
Kubuka kotak itu, kemudian yang aku bisa hanya menutup mataku dengan perasaan sangat bersalah.
Menitikkan air mata. Aku mencari Ueda yang berada di dapur, menuangkan kopi ke cangkirnya, berjalan melewatiku, tanpa melihat dan berbicara sepatah katapun kepadaku, seakan aku tidak ada dan tidak terlihat.
Hatiku hancur berkeping-keping saat melihatnya begitu berkorban hanya agar aku bersamanya. Dua tiket ke Jepang untuk kepergian minggu depan, berkeringat pasrah ditanganku yang kelu tak bernyawa.
No comments:
Post a Comment