Boarding room.
Masih bisa kulihat Ibuku melambai sambil membentuk tiga jari tengah menekuk dengan mulut yang bergerak seperti “call, you, call me soon okey” mengucapkan kata terakhir dengan . Aku mengangguk mantab, yah Ibuku pasti orang pertama yang akan aku hubungi setelah aku resmi membeli salah satu nomor provider telekomunikasi di Jerman sana. Ayahku mengacung-acungkan jempolnya, aku sendir tidak begitu mengerti apa maksudnya, yah…kuanggap saja itu “hebat,,anak muda”.
Plane.
Teringat lagu Jason mRaz, aku mencoba menghapus semua kenangan buruk tentang hidup, dan mencoba menjadi brand new me ketika sampai di Jerman. Hah…Jerman dalam impianku, adalah sebuah obsesi. Obsesi untuk menjadi seorang fotografer handal, mencoba mata pencaharian favorit yang sangat tidak disarankan oleh kedua orang tuaku, freelancer. Orang tuaku mungkin kini tengah mengelus dada memikirkan nasibku, masa depanku, dan segala tentangku kelak.
Tertidur untuk sejenak melupakan apapun.
Terbangun untuk mencheck jam dan makan.
Teringat untuk memutar beberapa lagu lewat iPod.
Tertidur lagi tanpa direncanakan.
Terbangun lagi dengan tiba-tiba, kaget karena bermimpi mencium Ueda. Hiiiiiiih, kok bisa-bisanya.
Kembali tertidur.
Terbangun lagi, sialan, bermimpi bersama Ueda lagi.
Mencoba tertidur untuk kesekian kali, dan berusaha keras tidak membahas mimpi barusan dalam diam.
Ueda duduk di sebuah bangku taman, memakai mantel berwarna coklat muda panjang. Dia menguap dan kemudian merebahkan tubuhnya di bangku itu, meletakkan kaki sebelah kanannya di atas lutut sebelah kirinya, mata di bawah riap-riap rambut pelan-pelan menutup. Dia tertidur, pulas. Ada seorang wanita yang menghampirinya, duduk di dekat kakinya, dan menyibak rambut diwajah Ueda dengan rasa kasih yang kelihatannya besar. Mungkin itu pacarnya. Ueda terbangun, dan menguap untuk kesekian kali. Dia duduk di sebelah wanita itu, menyandarkan kepala di pundaknya. Wanita itu mengeluarkan jeruk dari dalam tasnya, dan Ueda mengambilnya, mengupas kulitnya dan memakannya dengan sesekali memandang wanita itu dengan senyum malu-malu. Wanita itu terus melihatnya dengan tatapan kasih yang tidak biasa, tertawa melihat Ueda yang memakan jeruknya dengan cepat dan merajuk untuk meminta Ueda memakan jeruk yang lain sampai habis. Ueda pun terus memakan sampai pipinya menggelembung penuh, kesulitan menutup mulutnya, dia menundukkan kepala, malu.
Aku terbangun karena seorang pramugari mengelus bahuku, membangunkan.
“Kopi?” dia menawarkan dengan ramah.
Kulirik, Tia Wasista, nama pramugari itu.
“Terima kasih mbak Tia” aku mengambil secangkir kopi yang diangsurkannya.
Pramugari itu tersenyum lagi dan pergi.
Menghirup kopi, aku memutuskan bahwa baru saja aku mengalami rentetan mimpi buruk. Mimpi paling buruk yang pernah kualami. Terasa menusuk di dada, sepertinya aku baru saja kehilangan sesuatu dalam hati, tapi apa itu.
Masih bisa kulihat Ibuku melambai sambil membentuk tiga jari tengah menekuk dengan mulut yang bergerak seperti “call, you, call me soon okey” mengucapkan kata terakhir dengan . Aku mengangguk mantab, yah Ibuku pasti orang pertama yang akan aku hubungi setelah aku resmi membeli salah satu nomor provider telekomunikasi di Jerman sana. Ayahku mengacung-acungkan jempolnya, aku sendir tidak begitu mengerti apa maksudnya, yah…kuanggap saja itu “hebat,,anak muda”.
Plane.
Teringat lagu Jason mRaz, aku mencoba menghapus semua kenangan buruk tentang hidup, dan mencoba menjadi brand new me ketika sampai di Jerman. Hah…Jerman dalam impianku, adalah sebuah obsesi. Obsesi untuk menjadi seorang fotografer handal, mencoba mata pencaharian favorit yang sangat tidak disarankan oleh kedua orang tuaku, freelancer. Orang tuaku mungkin kini tengah mengelus dada memikirkan nasibku, masa depanku, dan segala tentangku kelak.
Tertidur untuk sejenak melupakan apapun.
Terbangun untuk mencheck jam dan makan.
Teringat untuk memutar beberapa lagu lewat iPod.
Tertidur lagi tanpa direncanakan.
Terbangun lagi dengan tiba-tiba, kaget karena bermimpi mencium Ueda. Hiiiiiiih, kok bisa-bisanya.
Kembali tertidur.
Terbangun lagi, sialan, bermimpi bersama Ueda lagi.
Mencoba tertidur untuk kesekian kali, dan berusaha keras tidak membahas mimpi barusan dalam diam.
Ueda duduk di sebuah bangku taman, memakai mantel berwarna coklat muda panjang. Dia menguap dan kemudian merebahkan tubuhnya di bangku itu, meletakkan kaki sebelah kanannya di atas lutut sebelah kirinya, mata di bawah riap-riap rambut pelan-pelan menutup. Dia tertidur, pulas. Ada seorang wanita yang menghampirinya, duduk di dekat kakinya, dan menyibak rambut diwajah Ueda dengan rasa kasih yang kelihatannya besar. Mungkin itu pacarnya. Ueda terbangun, dan menguap untuk kesekian kali. Dia duduk di sebelah wanita itu, menyandarkan kepala di pundaknya. Wanita itu mengeluarkan jeruk dari dalam tasnya, dan Ueda mengambilnya, mengupas kulitnya dan memakannya dengan sesekali memandang wanita itu dengan senyum malu-malu. Wanita itu terus melihatnya dengan tatapan kasih yang tidak biasa, tertawa melihat Ueda yang memakan jeruknya dengan cepat dan merajuk untuk meminta Ueda memakan jeruk yang lain sampai habis. Ueda pun terus memakan sampai pipinya menggelembung penuh, kesulitan menutup mulutnya, dia menundukkan kepala, malu.
Aku terbangun karena seorang pramugari mengelus bahuku, membangunkan.
“Kopi?” dia menawarkan dengan ramah.
Kulirik, Tia Wasista, nama pramugari itu.
“Terima kasih mbak Tia” aku mengambil secangkir kopi yang diangsurkannya.
Pramugari itu tersenyum lagi dan pergi.
Menghirup kopi, aku memutuskan bahwa baru saja aku mengalami rentetan mimpi buruk. Mimpi paling buruk yang pernah kualami. Terasa menusuk di dada, sepertinya aku baru saja kehilangan sesuatu dalam hati, tapi apa itu.
No comments:
Post a Comment