Wednesday, March 4, 2009

gone

Perasaanku sekarang seharusnya berbunga-bunga, setelah menghadiri kleine fest di sebuah café kecil di bilangan Benzoe Straβe, melihat apapun yang ingin kulihat dari tubuh laki-laki, I mean semuanya, dan tidak ada orang yang ketinggalan untuk tertawa, semua gembira, sambil terus menuang, mencecap, dan kemudian menenggaknya habis, segera meminta lagi gelas kedua. Jerman, a place where you can find fun.

Begitu terbuka, begitu bebas, begitu jelas untuk dilihat, dinikmati, begitu hangat, malah mungkin panas. Aku beringsut ke sebuah kecil dengan sofa warna kuning setengah lingkaran, tepat ketika semua orang menoleh saat melenguh terlalu keras, sial, pria itu membuka seluruh kain yang menempel di tubuhnya ketika kalah taruhan minum rootwine.

Aku berjalan menjauhi, dan Peter mengikutiku dari belakang.

Aku ingin pulang Piet, tapi kalau kau masih ingin di sini, aku bisa pulang sendiri, bus warna kuning ke Hoffban khan?” aku berkata sambil mengelap peluh, sudah terlalu panas di sini.

Menelengkan kepala, Piet menghela nafas kemudian “ Mengapa, selalu saja meninggalkan pesta di saat akan dimulai, apakah hal tadi menggangumu, come on Hanna, itu hanya lelucon, percayalah, dia hanya korban kalah taruhan, dan pasti dia juga menikmatinya, tidak ada yang disiksa atau dipermalukan malam ini”.

Aku ragu, tapi kemudian kukatakan juga “ Sial Piet, aku bahkan tidak perduli dia adalah korban atau dia menikmatinya, yang jelas adalah aku tidak terbiasa melihat tubuh laki-laki dewasa se-vulgar itu, I’ve told you Piet, ini keterlaluan” aku mendengus, kehausan”.

“Kau bahkan belum menyentuh satu gelas pun, ayolah Hanna, kau hanya akan menyesalinya, owh hear, pestanya akan dimulai” Piet menggamit tanganku, kudengar gelegar music menghentak, seluruh ruangan langsung bertambah panas berkali-kali lipat dari sebelumnya, aku tertatih mengikuti langkah Piet yang panjang dan cepat, bau kepulan asap rokok langsung menyerang hidungku, sial, aku mengumpat dalam hati, kepalaku sakit, dan telingaku seperti baru saja ditusuk ujung lancip pensil kantor yang baru saja diraut.

Piet merangkulku dengan satu tangan, aku terjungkal-jungkal disebelahnya, aku terlalu bingung untuk bicara, ini gila, laki-laki tadi, dia hanya mengenakan celana dalamnya sekarang, aku memegangi mulutku dengan telapak tangan yang mulai kebas, mencoba untuk tidak muntah, kupaksakan menelas ludahku berkali-kali. Kutoleh Piet yang terus bergoyang dan wajahnya yang riang dengan tawanya yang keras. Masih terus memegangi pundakku, memaksaku untuk mengikuti irama musik, memaksaku berkali-kali untuk minum, mengingatkan aku bahwa aku bisa mati dehidrasi, mencoba menolong untuk membuatku sedikit-demi-sedikit terbiasa dengan keadaan ini, aku mulai mual.

Kali ini, aku benar-benar mual, aku teringat Papa dan Mama, mereka pasti akan gantung diri jika tahu aku melakukan ini di Jerman, mereka akan menghentikan seluruh supply uang dan aku akan resmi jatuh miskin. Owh, aku mendengus lagi, dan dengan kepala yang bertambah pusing, hidung yang tak mampu menghirup oksigen bercampur racun nikotin, dan telingaku yang harus dibawa ke dokter besok karena sekarang sudah terasa sakit sekali, aku melepaskan tangan Piet dari pundakku. Piet menolehku, tampak putus asa, aku menepuk tangannya, tanda ‘aku harus pergi’, dan dia mengangguk pasrah pada akhirnya.

Aku keluar dari café itu, dan cepat-cepat menghirup sebanyak mungkin yang paru-paru dan hidungku mampu, mengucek mataku yang pedih parah, menggosok kedua telingaku dengan telapak tangan yang berkeringat, aku berjalan menyusuri jalan setapak, music dari dalam café masih terdengar samar, ketika aku melihat dua orang, yang satu laki-kali kira-kira berusia 35 tahunan, memakai kaus turtle neck berwarna coklat muda, rambutnya dipotong cepak, dengan jenggot tipis, dan barisan giginya yang sempuna, dia tersenyum setiap kali wanita dihadapannya bercerita. Wanita itu, berambut coklat tua, memakai setelan warna hijau toska dengan bagian dada yang rendah, kalung mutiara menggayut anggun di lehernya yang indah, dia tengah bercerita dengan antusias sambil sesekali menarik tubuhnya ketika tertawa, dan mencodongkannya lagi saat bercerita, membuat laki-laki itu harus membetulkan posisi celananya setiap kali wanita itu mencondongkan tubuhnya ke meja, hingga kalung mutiaranya mengetuk-ketuk meja.

Mereka tengah bahagia, dan jika mereka sedang berpacaran, laki-laki itu akan melamarnya segera, jika mereka sudah menikah, pertemuan kali ini akan berakhir di tempat tidur, meskipun di sini, tidak perduli apapun statusmu, jika kau menyukai lawan jenismu dan dia juka menyukaimu, kalian akan berakhir di tempat tidur dan itu sudah biasa. Mulai terbiasa dengan erangan dan desahan di kamar sebelah kondo-ku, membuatku nekat membeli seperangkat head-phone mahal bermerek, yang menjanjikan ketenangan pribadi, membuatmu tuli seketika, benar-benar kedap suara, kau bisa menyetel music kesukaanmu keras-keras, dan tidak akan mendengar apapun. Menyesal, ketika kau tidak akan bisa tidur, di malam pertama kau menginap di kamarku, semalaman kau akan mendengar suara laki-laki dan wanita mendesah dan sesekali nafas mereka terdengar terlalu keras, derit tempat tidur mereka, dan beberapa dari mereka akan meninggalkan kamar kondo di pagi harinya dengan masih terus berciuman sampai di depan lift. Matamu akan bengkak, karena kau tidak akan pernah bisa mengajaknya terlelap, dan terus menguap di kelas bukan hal yang baik, karena hari pertamaku di College, aku terus menguap dan I’ve told you, tidak ada satupun materi kuliah yang masuk ke otakku, sial.

Aku menepuk-nepuk kepalaku, wake-up, kusadari kakiku sudah beku berdiri kesemutan di tengah jalan, tapi akui masih di sini, melihat orang-orang yang dimabuk cinta itu putus asa. Bahkan ketika sudah kuhabiskan 5 bulanku di Jerman, tidak ada laki-laki yang bisa membuatku bergetar, maksudku benar-benar bergetar, seperti untuk pertama kali aku memeluk Ueda di Eagle Spot. Mungkin lain kali, aku harus memeluk setiap laki-kali di Jerman mulai saat ini satu-per-satu agar bisa tahu dengan siapa di antara mereka akhirnya aku bisa bergetar, maksudku benar-benar bergetar, yah you know ey?.

Meneruskan langkah, aku tahu aku tengah memutuskan bahwa malam ini akan jadi malam terakhir aku menerima ajakan Peter untuk datang ke sebuah acara, yang dia sebut “pesta”, ini benar-benar konyol.

Mengambil handphoneku, memasang ear-phone di kedua belah telingaku yang sedikit kebas, aku memutar Matsuri, bukan hal baru, ini instrumental karya Kitaro, musisi terkenal di Jepang, atau mungkin di dunia, everybody know who is he, tapi bukan hanya itu.

Hari itu, di Tokyo, di buah gedung teater kabuki, ada pesta genderang, aku, Diandra, Sasti, Noel, Jason dan tentu saja sang tuan rumah Ueda, menuju ke gedung teater itu untuk merayakan usia tujuh belas tahun kami. Kami duduk di kursi ketiga dari depan, kami bisa melihat saat Matsuri mulai dimainkan, seluruh ruangan langsung berdecak, bulu kudukku langsung meremang, musik itu membuat kami saling menoleh, tersenyum, tidak percaya dengan yang kami dengar, sebelum semua itu berakhir, muncul beberapa laki-laki berpakaian tradisional menari dengan gagah, melompat sambil membawa genderang kecil di masing-masing pinggang mereka, bergerak maju-mundur sambil terus memperagakan memukul genderang itu dengan antusiasme yang tertata dengan anggunnya.

Mereka, para penari itu membuat kami tertegun, mereka memiliki kekuatan yang dapat ku rasakan dengan langsung di setiap detik mereka memukul genderang kecil mereka dan mengakhiri tarian itu dengan teriakan membahana, sedetik kemudian terdengar mereka mundur teratur seiring irama genderang besar dan suara paduan suara membelai kami hingga saat paling klimaks, dan berakhir dengan damai.

Kupeluk tubuhku sendiri, masih merinding membayangkan malam itu hingga saat ini, dan mengingat sahabat-sahabatku, semuanya, pada malam itu. Semakin dingin, aku menaiki bus terakhir menuju banhoff, masih terus memutar memori tentang kejadian 5 tahun lalu, masih juga kuingat dengan jelas ekspresi masing-masing dari mereka, dan Ueda yang terdiam di kursinya, dan dia tampak sangat tidak menikmati pertunjukan itu, dia menunduk, masih muram, aneh, kuingat aku menepuk pundaknya, tersenyum, dia mendongak dan tanpa menolehku dia menatap para penari itu, kulihat cahaya lampu panggung berkilat-kilat di matanya.

Kusodorkan lima buah permen nanas Kasugai, dia tidak menanggapinya, masih terdiam, tapi aku tetap bersikeras, kuketuk-ketuk pundaknya, dia tetap tidak menoleh, dingin. Kucondongkan tubuhku dan melonggok melihat wajahnya dari depan, dia beringsut, mundur, wajahnya kaku. Dengan cepat menyambar sebutir permen nanas Kasugai itu dari tanganku, dan kembali serius menunduk.

Aku berbisik “eat it, aku tahu mungkin kau sudah bosan, tapi percayalah yang ini enak sekali” , dia tidak menoleh pun membuat gerakan.

“you would ask more for couple second ey?” aku menyodok lengannya dengan sikuku.Ueda hanya terdiam, dan begitulah dia, aku, atau kami, berlima tidak pernah heran dengan tingkah Ueda, selalu muram, selalu diam, selalu sendiri, selalu sepi dan selalu hampa. Hanya mendengar dan memperhatikan saat yang saling berbicara, hanya melihat apa yang ingin dia lihat, hanya bangun pada waktu yang dia tentukan sendiri, hanya membaca dan mendengarkan apa yang dia anggap menarik, dan hanya makan apa yang dia anggap enak, selebihnya, jangan pernah berharap melihatnya melakukan apa yang kau ingin dia untuk lakukan, karena dia hanya akan membuatmu sakit hati parah.

Saat ini, dia menerima tawaranku untuk mengambil permen Kasugai dari tanganku, dan kau tahu seharusnya aku masuk Guiness Book of Record dan dapat hadiah Noble.

Aku meringis mengingatnya, sudah sampai Bahnhoff ketika kulepas ear-phone tepat pada saat lagu Bad English terputar. Berjalan beberapa blok untuk sampai di kondoku, aku mengambil beberapa receh, memasukkannya ke mesin minuman ringan, sekaleng coke, bisa mengantarkanku tidur tenang malam ini.

Menaiki tangga kondo, berpapasan dengan seorang laki-laki dengan senyum mengembang di wajahnya berteriak terlalu riang ‘gutten nacht Frau’. Lift, tepat pukul 00.32, tak banyak orang lalu lalang, ini sudah larut aku berpikir dalam hati, bertaruh seseorang tengah berciuman di pojokan, aku melangkah dengan enggan, kakiku rasanya mati rasa, lelah teramat sangat. Mengeluarkan kunci dari dalam tas, memasukkan ke lubang kunci pintu kamarku, kubuka kamar pengap itu, menyalakan kipas angin, membuka jendela dan menyalakan lampu, kaget dengan apa yang terhampar di depanku, dan terakhir yang bisa kulihat dan kurasakan hanyalah seluruh tubuhku serasa berat hingga aku menyerah untuk limbung dan jatuh memukul lantai.

“bloody hell” aku mengerang, memegangi kepalaku yang masih sakit, berusaha bangkit dengan tubuhku yang pegal-pegal parah.Sebelum mataku terbuka sepenuhnya, kuharap apapun yang membuatku tidak sadarkan diri tadi adalah mimpi. You gonna die, aku melihat Ueda duduk di kamarku, di depan meja belajarku, dan aku bersumpah dia sungguh nyata, dan kau tidak akan pernah mempercayainya. Dia menolehku, tersenyum, bangkit dan kaget saat kusadar tubuhku limbung, mungkin pada saat itu jantungku meminta absen untuk berdetak saking kagetnya, otakku terpaksa bolos karena terlalu keras berpikir membedakan apakah ini mimpi atau kenyataan, dan kemungkinan aku sudah gila, tidak waras. Ketika mataku terbuka, dan berusaha mengerjap berkali-kali sekuat tenaga, kucari tangan kananku, tapi Ueda tengah menggenggam jemariku dengan kuat, aku hanya bisa membuka mulutku tanpa suara, membelalakkan mata, dan tanpa sadar menepuk kepalaku dengan keras, dan aku mengerang, sial, sakit sekali, telingaku langsung berdenging.Ueda menatapku was-was, dia juga tak bersuara, kami terdiam dalam kegalauan yang membingungkan, bingung akan apa yang terjadi, melihat Ueda, dan Ueda melihatku, saling menatap untuk beberapa saat, semua begitu detil, semua begitu tampak seperti mimpi untuk kau anggap sebagai kenyataan, apakah semua akan baik-baik saja, aku ingin berteriak agar seseorang membangunkanku, bahkan dalam mimpi pukulan di kepalaku pun tampak nyata dan nyeri.

Tunggu beberapa saat lagi, dan dia akan lenyap, buff, menjadi kepulan asap putih dan menghilang. Dia hanya ada otakku yang sudah sakit parah, atau karena aku hanya terlalu menginginkannya.

Tapi percayalah ini nyata, begitu nyatanya sehingga kau percaya aku akan makan kotoran ayam untuk membuktikan ini semua. Kugerakkan tangan kiriku yang bebas pada akhirnya, menyentuh wajah Ueda yang masih terdiam kaku, kurasakan benar rambutnya di ujung jariku, dan ketika jariku akan merambah wajahnya yang pucat dan tampak lelah, jantungku berdetak sangat cepat berpacu dengan nafasku yang semakin habis, kurasakan sesuatu menarikku tiba-tiba, begitu kuat, begitu menyakitkan, tertarik jauh lebih dalam kegelapan yang nyata, kegelapan yang memaksamu terpejam, yang membuatmu berhenti bernafas, dan kau akan seperti dipaksa untuk menyerah dan menyerahkan segala yang kau punya, seperti ketika kau sadar bahwa orangtuamu merengang nyawa dan kau tidak bisa melakukan apa-apa, hanya terlempar pasrah dalam kekecewaan yang tak bisa kau ungkapkan. Seperti ketika kau merindukan seseorang teramat sangat tetapi kau tak mampu mengungkapkannya, terpisah di antara dua jurang yang terlalu dalam, laut yang terlalu luas untuk kau berenang, gunung yang terlalu tinggi untuk kau kaudaki, ditengah ketidakmampuan itu, tiba-tiba kau sedih dan kehilangan arah, tertarik lebih dalam dalam lubang hitam, dan ketika kau sadar, aku hanya berdiri di sebuah padang gersang, sendiri.

Terengah, bangun dari posisi tidur yang tidak nyaman, merasakan dingin menyentuh kulit, membuka mata dengan berat, yang ku tahu aku tergeletak di lantai semalaman, bingung, aku memeluk tasku, masih di tempat yang sama, dengan hati yang teriris sedemikian sakit, meringkuk dalam dinginnya pagi, mengharap seseorang yang tidak akan kau miliki benar-benar akan datang, menyadari bahwa tangan kananmu tidak bisa bergerak karena tertindih tubuhmu sendiri, aku menangis, terisak berat.

Mungkin seumur hidupku aku tidak akan pernah bertemu dengan Ueda, tapi ketika dengan memikirkannya, dia akan hadir, dengan cara apapun yang dipilihkan Tuhan untuk menghadirkannya, aku akan terima dengan sisa air mata yang aku punya. Andai saja Ueda tahu, bahwa di sini aku berjuang dengan keras untuk mengumpulkan keberanian, menemuinya hingga saat itu tiba.