Tuesday, August 26, 2008

tiket itu ternyata ....

Perjalanan menuju apartemen. Taxi.
Di dalam perjalanan ini, baru kali ini aku merasa sangat tidak tertarik, sepi mulai terasa di dada, dan akupun teringat sebuah buku agenda besar dengan sampul rajutan warna kuning mentah. Ada sekitar tujuh foto keluargaku di sana, foto itu terakhir kali kumasukkan 2 bulan yang lalu seingatku, dan aku tak pernah memeriksanya lagi, yah mungkin terlalu sibuk dengan ujian masuk universitas dan berbincang hangat dengan Ueda. Perasaanku merebak, mengambilnya keluar dari dalam tas jinjing besar dan menemukan sesuatu.
Tiket ke Jermanku. Aku berteriak dalam hati. Gila, aku menyusahkan orangtuaku untuk membeli tiket lagi hanya untuk ingatanku yang parah.
Aku mengambilnya keluar dari dalam buku agenda. Melihatnya dengan pasrah. Gila...ini gila. Aku menuduh Ueda mengambilnya, Hah...ini sungguh gila. Aku menuduh sahabatku sendiri mencuri. Duh...aku menepuk dahiku. Dia pasti terpukul, dan orang yang memukulnya itu aku. Tapi untuk apa kemudian aku memikirkan perasaannya, sedangkan perasaanku sendiri tengah remuk sekarang. Well...the show must go on. Paling tidak itu menurutku.

move to Germany (Christina Aquilera-Hurt)

“eat this!” Sasti menyorongkan sebuah buku catatan bersampul hitam bertuliskan -for Shasty- itu kepada Noel yang langsung melongo memandang Sasti yang berlalu sembari mengomel.
Noel mengejarnya, dan Sasti berteriak “stay where you are Noel, or I’ll send you to jail” Sasti memang selalu seperti itu, mengancam setiap orang dengan akan mengirimnya ke penjara, wonder why.
Sasti berteriak saat Noel mendekatinya lagi. “you, slave, if Jason really loves me, send him over, and once again…” Sasti berpaling lagi ke arah Noel dan meneruskan berteriak, “and…teach Jason how to spell my name” Sasti menghentakkan kakinya dan pergi sambil terus melirik Jason, marah.
Aku melihat Jason cekikikan melihat Noel diomeli habis-habisan oleh Sasti, Jason memang seperti itu, seorang oportunis, tidak mau susah dan selalu Noel yang mati-matian jadi kacungnya, demi yah…demi untuk bisa mendapatkan akses lebih mengenal gadis-gadis dan mengencaninya dalam gelap. Dua meter di dekat Jason ada Ueda yang duduk santai melihat ke arah lain, terdiam dan tak bergeming. Diandra yang semula berdiri mematung di dekatku berlari menggandengku mengejar Sasti.
Diandra, aku sudah mengetahui kalau dia menyukai Sasti sejak kami bertiga lulus sekolah dasar di Turki, kami bertiga dilahirkan dari keluarga berkebangsaan Indonesia, selain Sasti yang ibunya adalah warga negara Norwegia. Kami bertiga berjanji untuk saling menjaga ketika kami bersama di sebuah negara tanpa teman, tanpa harapan untuk mendapatkan sahabat secepat dan sebanyak yang kami harapkan. Kehidupan kami yang selalu berpindah mengharuskan kami cukup puas dengan berkenalan singkat selama paling lama setahun dan kemudian di teruskan dengan saling bertukar alamat elektronik.
Ayahku sendiri adalah seorang dosen lepas sebuah universitas di Turki, menikahi ibuku yang notabene mahasiswanya, dan kemudian hadir aku, yang kemudian resmi didaulat ayah untuk menjadi teman setia ibu dikala ayah harus bertugas ke luar negeri lagi. Menginjak umurku yang ke dua belas, ibu dan ayah mulai mengajakku keluar Turki, dan akhirnya memutuskan untuk menetap di negara kelahiran ayah dan ibu, Indonesia.
Turki, di sanalah akhirnya kami bertiga, aku, diandra dan sasti pada akhirnya memutuskan untuk kembali, meneruskan sekolah menengah atas kami, setelah menghabiskan beberapa tahun lebih banyak di Indonesia untuk menyesuaikan dengan kurikulum sekolah menengah pertama di Indonesia.
Diandra, orang tuanya adalah pengusaha restoran dan toko roti di Turki, kakaknya Dirga sudah fasih berbahasa Turk kala itu, karena lahir dan besar di sana lebih lama, Dirga sudah mengenal Turki lebih baik dari pada dia seharusnya mengenal ibu Negara kebangsaannya, Indonesia.
Sungguh mengurus keperluan imigrasi dan ijin tinggal tidaklah sesulit dan serumit yang orang bayangkan, kami mendapat banyak kemudahan untuk mengurus segala dokumen-dokumen tinggal kami di Turki.
Sasti, orang tuanya adalah pekerja seni, ayah ibunya memiliki galeri seni di tengah kota St.Petersburg, memiliki rumah besar yang mewah, disanalah pada akhirnya kami sering menghabiskan waktu, saling bersumpah untuk saling menjaga dan tetap bersama.
Di sekolah menengah Turki pula kami bertiga berjumpa dengan ketiga yang lain, Jason yang berkewaganegaraan Amerika Serikat, Noel yang berwarganegaraan Irlandia dan terakhir Ueda yang berkebangsaan Jepang. Kami berenam bertemu ketika sama-sama membeli tiket untuk konser Lenny Kravitz di lapangan bundar St.Petersburg.
Lenny Kravitz, menyatukan tujuan menonton konser kami yang ternyata berbeda pada akhirnya. Aku, menonton Kravitz karena single I’ll be waiting, Diandra, yang karena mengantarkan Sasti, Sasti, karena ingin mengoleksi tanda tangan Kravitz, Jason, yang ingin menebar pesona lebih dari pada mr.kravitz sendiri, noel yang karena mendukung kampanye tebar pesona Jason, dan ueda, yang karena kravitz berkebangsaan Rusia.
Kami berenam berteman pada akhir konser, membawa kenangan sendiri-sendiri yang tidak bisa dibagi. Pertemuan kami di hari-hari berikutnya, membuat kami sebuah kelompok yang tidak bisa dipisahkan, yang satu menjadi pelindung yang lain, dan tidak ada yang bertahan untuk yang seorang sedangkan untuk yang lain tidak, sebuah janji yang kami junjung tinggi selayaknya nyawa kami sendiri.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, jika hidup itu sungguh sulit untuk dimengerti, sungguh misteri yang tidak akan bisa diramalkan.
Tak pernah kusangka bahwa Ueda akan menyukaiku dan aku akan selalu bergetar bila di dekatnya. Kelas dua sekolah menengah, saat Ueda mulai untuk pertama kali mengirimkan tulisan “ommoshiroi” di bangku sekolahku, yang hasilnya dia dihukum berdiri di luar kelas selama pelajaran berlangsung hari itu.
Aku tidak pernah memperhatikan Ueda yang selalu tertunduk dan muram, jika diamnya itu untuk semua ini, jika diamnya itu untuk mengumpulkan semua keberanian ini pada akhirnya. Maka aku berdosa besar padanya.
Ke Indonesia hanya untuk memberiku dua tiket ke Jepang di akhir masa tinggalnya, semua percakapan intim itu, semua kedekatan itu, semua senyum untuknya, semua perhatian yang tidak pernah kuberikan pada yang lain, untuk semua telepon dan pesan, untuk pelukan itu, aku memberinya peluang untuk menyukaiku, aku membuka harapan untuknya, untuk membuatnya merasa aku memperhatikannya, membiarkannya mengira aku juga mencintainya, membuatnya yakin bahwa cinta itu ada antara aku dan dirinya. Ohh…Tuhan..aku menutup album foto itu dengan sesal yang melesak sedemikian dalam, aku yang menyakitinya, mengangkatnya dan menjatuhkannya dengan keras di waktu yang sama. Aku dan bukan dia. Jika pun aku juga mencintainya, maka aku terlalu malu untuk mengatakannya, karena Ueda adalah sahabat?, bukan, karena ueda adalah pria pemurung yang tidak ingin melanjutkan kuliahnya, yang tidak ingin kehidupan yang lebih baik, yang dia tahu hanya menghabiskan uang orang tuanya untuk berkeliling dunia, hanya karena aku malu, hanya karena sebuah gengsi aku menyakitinya, dan karena hanya aku tidak ingin yang lain tahu bahwa aku telah bertahan untuk yang satu sedang aku tidak melakukannya untuk yang lain. Ueda aku harap, dimanapun dia saat ini, kuharap dia bisa memaafkan aku, atau setidaknya jika itu terlalu berat, maka cukup dengan merasa benci dan lalu menganggap aku tidak pernah ada di dalam hatinya.

Ueda Tsukishiro, 24 tahun, Mei 2008, Matsuyama, Japan, no clue, then should I find him?.
Coretan untuk sebuah misi sulit, mencari Ueda dan mengatakan aku pun mencintainya.

Aku beranjak, dan kemudian kembali lagi duduk di atas ranjang. Tapi untuk apa, tertunduk, lama sekali aku berpikir. Semua untung rugi aku mencarinya, semua efek yang akan terjadi, jika aku menemukannya pun Ueda tidak akan pernah mau mengenalku lagi. Kuurungkan niat besarku tadi, kuletakkan album foto itu di bagian paling bawah semua tumpukan buku-buku bekasku, mengepaknya dalam sebuah kardus dan menyimpannya di dasar lemari dan menguncinya, last touch, kuncinya akan kubuang di dasar sungai Mainne ketika sampai di Jerman nanti, dalam hati aku berdoa, God help me forget where I put this box down today, and don’t ever shown me even just a little clue which reminds to this one.

Friday, August 22, 2008

sumpah inih kenapa bagian awalnya jadi ga ke -save:(

Boarding room.
Masih bisa kulihat Ibuku melambai sambil membentuk tiga jari tengah menekuk dengan mulut yang bergerak seperti “call, you, call me soon okey” mengucapkan kata terakhir dengan . Aku mengangguk mantab, yah Ibuku pasti orang pertama yang akan aku hubungi setelah aku resmi membeli salah satu nomor provider telekomunikasi di Jerman sana. Ayahku mengacung-acungkan jempolnya, aku sendir tidak begitu mengerti apa maksudnya, yah…kuanggap saja itu “hebat,,anak muda”.

Plane.
Teringat lagu Jason mRaz, aku mencoba menghapus semua kenangan buruk tentang hidup, dan mencoba menjadi brand new me ketika sampai di Jerman. Hah…Jerman dalam impianku, adalah sebuah obsesi. Obsesi untuk menjadi seorang fotografer handal, mencoba mata pencaharian favorit yang sangat tidak disarankan oleh kedua orang tuaku, freelancer. Orang tuaku mungkin kini tengah mengelus dada memikirkan nasibku, masa depanku, dan segala tentangku kelak.

Tertidur untuk sejenak melupakan apapun.

Terbangun untuk mencheck jam dan makan.

Teringat untuk memutar beberapa lagu lewat iPod.

Tertidur lagi tanpa direncanakan.

Terbangun lagi dengan tiba-tiba, kaget karena bermimpi mencium Ueda. Hiiiiiiih, kok bisa-bisanya.

Kembali tertidur.

Terbangun lagi, sialan, bermimpi bersama Ueda lagi.

Mencoba tertidur untuk kesekian kali, dan berusaha keras tidak membahas mimpi barusan dalam diam.

Ueda duduk di sebuah bangku taman, memakai mantel berwarna coklat muda panjang. Dia menguap dan kemudian merebahkan tubuhnya di bangku itu, meletakkan kaki sebelah kanannya di atas lutut sebelah kirinya, mata di bawah riap-riap rambut pelan-pelan menutup. Dia tertidur, pulas. Ada seorang wanita yang menghampirinya, duduk di dekat kakinya, dan menyibak rambut diwajah Ueda dengan rasa kasih yang kelihatannya besar. Mungkin itu pacarnya. Ueda terbangun, dan menguap untuk kesekian kali. Dia duduk di sebelah wanita itu, menyandarkan kepala di pundaknya. Wanita itu mengeluarkan jeruk dari dalam tasnya, dan Ueda mengambilnya, mengupas kulitnya dan memakannya dengan sesekali memandang wanita itu dengan senyum malu-malu. Wanita itu terus melihatnya dengan tatapan kasih yang tidak biasa, tertawa melihat Ueda yang memakan jeruknya dengan cepat dan merajuk untuk meminta Ueda memakan jeruk yang lain sampai habis. Ueda pun terus memakan sampai pipinya menggelembung penuh, kesulitan menutup mulutnya, dia menundukkan kepala, malu.

Aku terbangun karena seorang pramugari mengelus bahuku, membangunkan.
“Kopi?” dia menawarkan dengan ramah.
Kulirik, Tia Wasista, nama pramugari itu.
“Terima kasih mbak Tia” aku mengambil secangkir kopi yang diangsurkannya.
Pramugari itu tersenyum lagi dan pergi.

Menghirup kopi, aku memutuskan bahwa baru saja aku mengalami rentetan mimpi buruk. Mimpi paling buruk yang pernah kualami. Terasa menusuk di dada, sepertinya aku baru saja kehilangan sesuatu dalam hati, tapi apa itu.

Thursday, August 21, 2008


dying just to understand this man :(
well no character has been found perfect, but he is match wiff my Ueda cast, so now...
I'll write him till chapter three...
when Hanna landed in Germany and start her college... Ueda will still the main idea...
so still getting harder of working his attitude, impact and feeling. So hard ...eh.

James Blunt – You’re Beautiful

Mengetuk pintu apartemen Ueda dengan perasaan yang campur aduk, ragu akan semua tindakan yang telah kulakukan, ragu dengan harapan yang terhampar di depan, ragu dengan diri sendiri, ragu dengan apa yang diputuskan, well…apapun itu, untuk ke Jerman dan untuk cita-cita yang hampir terkubur, aku harus, meskipun aku tahu berat untuk menatap wajah Ueda yang akan memohonku untuk tidak pergi.

Aku terus mengetuk, tidak ada jawaban. Kulirik jam tanganku, pukul 4 lebih, tidak seperti yang Ueda harapkan, tapi aku yakin dia tidak akan tidur pada saat ada yang dia ingin bicarakan seperti ini.

“Ueda, ini aku, Hanna, buka pintunya, please” aku terus mengetuk. Sunyi, tidak ada suara, aku mulai khawatir Ueda bisa saja melakukan extreme thing saat dia bingung harus melakukan apa. Berjongkok, aku mengobrak-abrik isi ranselku, mengambil handphoneku, mengaktifkan 3G dan mulai menekan tombol dial untuk nomor Ueda.

Diangkat. Aku langsung berteriak.
“Ueda, buka pintunya, aku mohon” nada suaraku sudah terdengar panic saat dia menjawab.
“sorry, siapa ini?”
“……”

Beberapa saat kemudian pintu depan apartemen Ueda terbuka.
“ini masih pagi eh?” Ueda membuka pintu, memandangku sekenanya, menunuduk lagi dan memalingkan wajahnya.
“aku kehilangan tiketku, aku harap sesuatu yang ingin kau tunjukkan padaku itu tiketku, kumohon Ueda, aku sangat membutuhkannya”
Ueda berpaling padaku dengan pandangan heran.
“tiket eh?” dia bertanya.
“iyah tiketku” aku mulai tak sabar.
“kau akan pergi?” Ueda bertanya, kini pandangan matanya sudah sedemikian menusukku.
“ehm…ehm…iyah” aku salah tingkah, dan mulai kehilangan kata-kata.
“kau berjanji padaku bukan, dan oh thanks God, you lose your ticket, aku senang mendengarnya” Ueda tersenyum kecil padaku yang semakin marah melihat tingkahnya.
“Ueda, aku tidak bercanda, aku ingin tiketku kembali, kumohon” panic akan sikap Ueda yang tidak bisa ditebak, aku mengikutinya berjalan ke arah meja komputernya, sambil terus memohon.
“aku tidak bisa memberikannya, tiket itu tidak ada padaku”

Cukup sudah. Kesabaranku sudah mencapai batasnya.
“Ueda, aku tahu kau tidak akan membiarkanku pergi ke Jerman karena kau memintamu untuk menjagamu, menemanimu di sini, sampai entah kapan itu akan berakhir, tapi mengapa harus aku, ada Diandra dan Sasti yang bisa menemanimu di sini, aku tidak tahu mengapa…” terengah karena berusaha keras menahan tanganku untuk menamparnya, aku melanjutkan berbicara.
“Ueda, please, aku harus ke Jerman, aku mohon beasiswa sekolah fotografi ini sudah lama aku inginkan, aku harus pergi, aku tidak bisa membiarkan impianku ini pergi begitu saja, Ueda aku mohon” kini tanpa sadar aku sudah berlutut dikakinya, memohonnya untuk mengembalikan tiketku.

Menarikku keatas dengan sedikit kasar, dia mencengkeram lenganku kuat-kuat, aku meringis karena menahan sakit, meronta berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman itu terlalu kuat, Ueda terus memandangku tanpa menghiraukan aku telah meronta sedemikian rupa.

“aku tidak menyembunyikan tiketmu, hanya untuk memintamu tetap di sini, aku tidak akan memaksamu melakukannya jika kau tidak menginginkannya” Ueda berbicara, kemudian menunduk, menggigit bibirnya, dengan tangan yang masih mencengkeram lenganku sebegitu kuat.

“Ueda, lepaskan aku, ini sakit” aku momohon.
“tidak, sebelum kau mendengarkan dan mengerti” dia tetap kukuh.
“oke, oke maafkan aku karena telah menuduhmu mengambil tiketku, tapi lepaskan aku, kita bicarakan baik-baik ok” aku mulai tidak bisa tenang berpikir saat lenganku sudah meradang panas dan sakit.

Dia melepaskan sambil sedikit melemparku kebelakang, menggamit tanganku dan menyeretku menuju sebuah kotak. Membukanya dengan satu tanganya yang bebas, dia mengambil kotak berwarna merah marun dan mendorongkannya kearahku.
“aku hanya ingin memberimu ini, tapi mungkin segalanya akan menjadi percuma sekarang” dia melepas tangannya dan pergi meninggalkanku sendirian di depan kotak itu.

Kubuka kotak itu, kemudian yang aku bisa hanya menutup mataku dengan perasaan sangat bersalah.
Menitikkan air mata. Aku mencari Ueda yang berada di dapur, menuangkan kopi ke cangkirnya, berjalan melewatiku, tanpa melihat dan berbicara sepatah katapun kepadaku, seakan aku tidak ada dan tidak terlihat.

Hatiku hancur berkeping-keping saat melihatnya begitu berkorban hanya agar aku bersamanya. Dua tiket ke Jepang untuk kepergian minggu depan, berkeringat pasrah ditanganku yang kelu tak bernyawa.

Tuesday, August 19, 2008

commercial break... just watch !


death note - the last name...
just watch and enjoy L...

Higashi Karatsu-Fukuoka

uedastuki>>>> Hachiko, Shibuya. Fukuoka. Hakata-ku. Okura Hotel , 3-2 >>>>>>>>>>>Shimokawabata-machi. Serena Cafe , Hakata-ekimae 2-18-25. you can found me >>>>>>>>>>>there. ueda
next email.
uedatsuki>>>> Hachiko, Shibuya. Like my last name. Matsuyama. Dōgo Kan 7-26 Dōgo >>>>>>>>>>>Takochō. Dōgo Onsen. Terminal Hotel Matsuyama 9-1 Miyata-chō. JR >>>>>>>>>>>Matsuyama Station . Ueda
next email.
uedatsuki>>>>i hope you are good. hope diandra and his fammily took you well.how was >>>>>>>>>>>Germany?you've met Jason already?send me message.please.Ueda
aku hanya terdiam mendapati puluhan email yang dikirim ueda ke alamat email lamaku setelah sebulan bulan lalu aku memutuskan untuk tidak lagi menggunakannya. yume_hanna. Email ituh dibuat oleh Ueda untukku, dan hanya email itu yang dia tahu. rookiesjerman itulah emailku sekarang.
andai saja ueda tahu aku tidak akan membuka email ini dan menggantinya dengan email yang lain, dia tidak akan berharap sebegini banyak.

Thursday, August 14, 2008

amayadori [ the safest place to hide when its rain]

aku tidak menyangka kejadiannya akan menjadi sebegini sulit untuk merealisasikan sebuah rencana. Aku tahu aku tak akan bisa meninggalkan Ueda, alasannya cukup sederhana sebenarnya, karena sudah ada perasaan lain yang ikut campur dalam urusan persahatanku dengannya bulan-bulan ini, alasan yang lain adalah, dia sudah cukup berkorban dengan datang ke Indonesia, hanya untuk menemuiku.

pertemuan di cafe Kyela sebualan yang lalu juga menjadi kenangan yang tidak biasa antara aku dan dirinya. Kami berpelukan. Oh..tidak itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan kami berdua adalah sahabat yang saling merindukan. Semua bisikan kecil, semua hembusan nafasnya di telingaku, semua detak jantungnya yang terasa berbeda, semuanya.

Ueda, aku tak mungkin mencintainya. Atas apapun alasan yang nantinya akan ada.Aku hanya sahabatnya, dan kami berenam hanya sahabat, aku, dia dan semuanya adalah sahabat yang diikat karena rasa saling melindungi satu dengan yang lainnya.

Aku beranjak dari atas sofa merah di kamarku, meninggalkan sejenak pikiran yang penuh dengan Ueda akhir-akhir ini. Aku mengambil tas ranselku, merogoh-rogoh mencari lembar tiket pesawat ke Jerman. Iya, aku akan tetap pergi ke Jerman, setelah kupikirkan ternyata aku lebih memilih ke Jerman, walau aku sudah terlanjur mengatakan tidak akan pergi ke Ueda di Cafe itu sebulan yang lalu. Lagipula apa yang akan kukatakan pada diandra dan kedua orang tuaku kalau aku gagal berangkat hanya karena aku harus menemani Ueda di Indonesia untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Oh..aku menepuk kepalaku kuat-kuat. Tiketku HILANG. Habis sudah.Aku melempar tasku dan mulai mencari di meja komputerku, di meja rias, kolong tempat tidur, almari, semuanya, tidak ada, nol besar. Aku sudah menjadi sangat kebingungan ketika handphone berdering.

"Hallo"
"Tampaknya kamu sibuk"
"Ueda"
"Kaget?"
"Ehm tidak, hanya tidak biasanya kamu menelephon pagi buta seperti ini" aku melirik jam dinding, saat itu pukul 3 pagi.
"Bukannya biasanya kita selalu tidak berhenti mengetik sebelum pagi tiba?"
"Bukan, maksudku menelepon, ini khan baru pertama kali"
"Di Indonesia, kita bisa menelepon dengan murah bukan di pagi hari"
"Wew, sudah hapal iklan TV rupanya"
"TV not a good friend, but we indeed need it" Ueda di seberang sana tertawa.
"Ehm Ueda, kamu terbangun malam-malam lagi"
"Tidak, memang sengaja tidak tidur, untuk menelephonmu"
"Mengapa memilih waktu sepagi ini?" aku mulai tidak sabar.
"Karena aku tahu kamu tidak akan tidur sebelum pukul 5, moslem thing huh" Ueda tertawa lagi.
"Ueda, aku capek, aku tidur yah" aku mencoba membuatnya berhenti menelepon karena aku ingin meneruskan mencari tiketku.
"Datanglah ke apartemenku siang ini, aku punya sesuatu yang kamu cari sekarang"
"..."
"Just always know you better than yourself Hanna"
"..."
"Don't mind, just come and see" Ueda menutup telephonya, membiarkan aku dalam kebingungan yang semakin besar.

Dia memiliki sesuatu yang aku cari, apakah dia tahu aku kehilangan tiket, tapi bagaimana bisa, bagaiamana bisa ada padanya, aku memukul kepalaku berulang-ulang, dia tahu aku akan pergi, dia tahu aku akan meninggalkannya, dia tahu semua rencanaku.

Cepat aku mengambil tas ranselku, menutupnya rapat, menjambret jaket tebalku, memakai sepatu dan pergi. Ke apartemen Ueda. Malam itu juga.

Sunday, August 10, 2008

pertemuan sederhana


kami bertemu di Kyela Cafe, di aderah Ciputra hari itu jam 8 tepat waktu Indonesia bagian barat. Ueda masih sama seperti yang dulu, pucat, murung dan tampak lelah. Dia tersenyum saat mengetahui aku datang, sambil membersihkan meja dari beberapa puntung rokok.


"nice to meet you" aku datang tidak mengindahkan sorotan matanya yang heran melihat tidak langsung duduk begitu sampai di mejanya.

"please" dia menambahkan. " I need to talk".

Masih memendam keinginan untuk segera memeluknya, aku tetap berdiri, menundukkan kepalaku. Tak lama kemudian dia pun berdiri. Aku mendongak, melihat wajahnya. Dia lebih pendek dari saat terakhir aku bertemu dengannya.

"I need you to talk" dia menambahkan dengan nada suaranya yang sepertinya memendam sesuatu.

"I'm here because I know you need to talk to me" aku berbicara masih memandang wajahnya, dan dalam keadaan berdiri.

Kami baru pertama kali ini bertemu setelah 6 bulan yang lalu kami hanya bisa berkomunikasi lewat email, telephon, chating di internet, 3G dan beberapa akses teknologi lainnya, yang tidak memungkinkan aku untuk bisa mengukur beberapa telah berubah dari Ueda, termasuk tinggi dan berat badannya.

Aku berharap banyak beberapa hari yang lalu saat Ueda mengirim pesan lewat email bahwa dia akan bertolak ke Indonesia, menemuiku. Something important, katanya waktu itu.

Harapanku adalah bahwa aku bisa berbincang dengan lebih berkualitas dengannya setelah kami merasa ada sesuatu diantara kami saat berkomunikasi lewat teknologi sedemikian lamanya. Aku merasa ganjil dengan tingkah lakunya yang semakin hari semakin tampak tidak sehat. kesukaannya melipat kaki di atas sofa dan tertidur pulas saat kami belum selesai berbicara dengan membiarkan PC atau hanphonenya tetap on line. satu lagi yang membuatku sangat gusar adalah dia tidak henti-hentinya mengambil tisyu untuk menyeka bagian-bagian tubuh yang tidak bisa kulihat dengan jelas lewat web cam atau layar HP. Di dorong keinginan kuat untuk bertanya membuatku ingin segera bertemu dengannya. Tapi sekarang, seakan kami tidak pernah berbincang intim lewat teknologi, dia melihatku seakan aku teman baru yang siap untuk memperkenalkan diri, dan dia, keperluannya denganku hanya untuk bicara seadanya dan kemudian pergi.

Aku tetap terdiam membiarkan Ueda yang terlebih dulu melakukan gerakan.

Tidak ada. Ueda tetap terdiam dengan mata yang tetap tertuju padaku. Aku menjadi rikuh sendiri, ini bukan Ueda. Ueda tidak pernah memandang sesuatu hingga begini lama, pasti ada sesuatu, apakah aku melewatkan satu atau dua kata penting lewat pembicaan kami beberapa waktu lalu, seingatku pembicaan kami tidak pernah terlepas dari curhatan sahabat kental belaka, walau terkadang aku merasa begitu dekat dengannya, tapi tidak ada satupun diantara kami yang terlepas bicara tentang cinta. Dia sahabatku yang memang lebih dari segalanya dimuka bumi, itu saja, tidak lebih. Tapi aku merasa pandangannya kali ini lebih dari itu.

"Sorry, why you looking at me like that?"

"No just amazed, seeing your eyes, last time I know, yours isn't in this blue?"

"I wear my lens", " Look so weird, huh?"

"No, you look good"

"I'm getting tired, can we just sit, and order a cup of tea"

"No, I like when you stand in front of me like this, because I can hug you as tight as I can, may I"

Tanpa menghiraukan gerakanku yang kikuk, Ueda memelukku, masih terasa nafas hangatnya di telingaku saat kusambut pelukan itu.

"Diandra tells me that you will go to Germany", " But I won't let you go".

Seluruh pandangan menatap kami malam itu, tapi karena ada Ueda, segalanya seperti tampak seharusnya. Ueda, apakah dia masih sahabatku saat dia menginginkan ku lebih banyak dibandingkan yang lain, atau karena aku pun menginginkan dia lebih dari seorang teman curhat belaka.

Kubisikkan satu kata ditelinganya .....

"No, I won't"



well that picture is the picture of Kenichi Matsuyama, the one I want to figure Ueda.




Thursday, August 7, 2008

dareka no negai ga kanau koro

memang sulit untuk memutuskan sesuatu, memlih satu diantara dua, apalagi kalau dua-duanya baik.
sehari yang lalu diandra datang menawarkan beasiswa penelitian S2 ke Jerman. Jerman adalah negara impian kedua setelah Amerika yang ingin kudatangani, karena di sana ada Baden-Baden yang Jason ceritakan dengan semangat membara 2 tahun lalu, dan ada Jason...yah ada Jason di sana dengan segala yang menarik tentangnya. Mengingat segala sesuatu tentang Jason membuat aku teringat tentang tawaran menggiurkan untuk jadi istrinya waktu itu, saat kami berdua lulus sekolah menengah kami di Turki, place where I was born.Tertawa dalam hati, aku beranjak menuju lemari biru tua di dekat bed-ku yang hari ini ber-cover bunga-bunga. Kuambil salah satu buku file, sampulnya yang berwarna kuning emas sudah usang dimakan waktu, tapi semoga isinya tetap abadi, di sini, di dalam buku file tua ini, dan di hati semua orang yang namanya tercantum dengan cinta di dalamnya.
Halaman pertama adalah tentang kami, tentang aku, diandra prasetya dewa, jason thomas wellington, matsuyama ueda, wingsasti pramudya, dan seorang lagi yang aku lupa nama lengkapnya, dulu kami suka memanggilnya noel, noel yang pandai, noel yang ceria, noel yang pinter main gitar, well aku masih lupa nama lengkapnya, ehm... tak apalah aku ini memang jahat, dulu noel yang paling rajin datang ke sekolah, tidak pernah absen. Mungkin karena itu aku tidak ingat nama lengkapnya, dia tidak pernah mengirim surat ijin atau menitipkan surat dokter untuk di sampaikan kepada tentor. Tak apalah, siapapun nama lengkap noel, he is the best ever, and the other four.
Konyol sekali, kami meringis karena menahan udara dingin St. Petersburg waktu foto itu diambil, meringis dengan bentuk bibir yang sama. Selagi kami berumur 12 tahun, Jason sudah terlihat paling gagah dan tampan diantara teman laki-laki lain dalam kelompok. Dia yang paling menonjol karena banyak bakat, sama seperti cerita sinetron remaja sekarang, atau cerita komik Jepang, memang cowok ganteng di sekolah tidak akan pernah dilewatkan sebuah cerita, apapun itu, termasuk saat aku mengenang Jason kini, dikamar apartemen kecil di sebuah kota di Indonesia, yang wuff panas sekali.
Jason tetaplah Jason, dan seketika ketika membalik halaman kedua, ada aku dan sasti yang sedang tertawa lepas sambil melempat pucuk-pucuk daun dari pohon ek yang gugur, ke arah noel yang sibuk membenahi posisi kacamatanya. Lucu tapi juga sadis, sampai ingin menangis lagi mengingat betapa menyesalnya aku waktu itu, kacamata noel yang berkali-kali melorot tiba-tiba terjatuh dan pecah. Tamatlah sudah. Noel pulang tanpa kacamata, bibirnya monyong 2 meter kedepan, melirik marah padaku yang melaju kencang diboncengan sepeda Ueda. Ehm..
Ueda, apa lagi yang kuingat dari dia, selain wajahnya yang selalu murung, yang selalu tertunduk, tampak sedih tapi sebenarnya tidak, jarang tersenyum dan malas berbicara banyak. Potongan rambutnya yang sama sekali tidak rapi dan ketinggalan satu langkah dari model rambut anak-anak laki-laki pada umumnya waktu itu. Selalu memakai sweater putih bertuliskan ommoshiroi yang artinya lucu (lawakan). And sure he is just a joke in that time, and always be the matter of joke. Ueda... aku menghela nafas. But you are my heaven on earth, and I adore you so much...
Telephon berdering dan aku beranjak dengan buku file itu masih dipelukan.
"Moshi moshi"
Ueda hatiku tersontak.
"Ueda?"
"Have a time today, just to meet me in the cafe, near of the Ciputra, 8 pm, You know I hate of waiting, thanks"
krek..pip..pip...pip...
masih dalam kekagetan yang sama dan tidak berkurang. Kuletakkan gagang telepon, dan berjalan linglung ke arah bed, meletakkan album file, masih ada Ueda di sana, masih ada kenangan tentang dia, masih ada segalanya tentangnya yang tak akan mungkin dihapus waktu, tentang aku dan dia, tentang suratku padanya seminggu yang lalu. Tentang rencanaku meneruskan kuliah di Jerman, sampai akhirnya diandra menelephon memberitahukan tawaran itu telah terealisasi.
Ueda, for what sake, for everything we've past, I'll come to meet you this 8.

Monday, August 4, 2008

chapter 1-lamunan perawan tua

kopi lagi, kopi lagi, bisa mati kena kanker karena kebanyakan minum kopi. Pertanyaannya sekarang bisakah kopi menyebabkan kanker? tak taulah yang jelas lebih baik minum kopi dari pada pusing ketagihan dan pingsan di tengah jalan.

kemarin malam pekerjaan itu belum selesai juga dikerjakan. Ditumpuk malah bikin gunung derita. melamun di Eagle Spot lagi. menuang kopi dan menunggu pria Jepang itu datang. Sebenarnya setelah ada pria Jepang itu tujuan ke Eagle Spot jadi bertambah satu, menanti kalau2 pria Jepan itu datang lagi.

bisa tidak yah membuat diri menjadi seperti yang diinginkan, misal ini, pengen cantik seperti Tamara Blezensky biar bisa punya pacar bule, ato pinter setengah mati biar kerjaan nggak banyak yang numpuk gini, ato sexy seperti angelina jolie, biar bisa dapetin brad pitt ato melahirkan bayi kembar, apa hubungannya.

sejenak melamun, sejenak berpikir, sejenak yang lain menyeruput kopi istimewa bercampur banana cream yang lembut, huff.

dan...

keluar dari ruang hampa lamunan.

pria Jepan itu datang.

sial mana dandanan lagi ga pantes banget.

owwwwwwwh...shiiiiiiiiiiiiiiiit.

duduk di kursi pas dengan titik horisontal padangan mata. Teknik mengulir rok untuk menghilangkan nervous tidak berhasil. Teknik menggigiti kuku, juga tidak menajur. Memalingkan muka juga malah menambah perasaan ingin menoleh lagi. terlalu indah untuk tidak dipandang.

dan mungkin terlalu menggelikan untuk memperlihatkan bahwa saya sedang sukaaaa sekali memandangnya.

teknik pegang gelas sambil menambah gula...
mengibaskan rambut...

dan

anjriiiiiiiiiiiiit...

mbueeeeeeeeehhhhhhh.......

manis banget....

dan dia pun menoleh. memandang heran ...
berdiri...
berjalan...
ke arah ku...
dan...

omoshiroi ....

hah...