Thursday, September 25, 2008

lie is a lie even the white ones. Sooner or later it will hurting.
Aku ingat saat aku dan Ueda berdebat masalah agama. Ueda tak beragama, di hanya percaya ada roh suci yang mengontrol jagad raya, seperti teman, seperti manusia yang nyata. Sedangkan agamaku, moslem, aku percaya Allah swt, tak dapat didefinisikan sebagai manusia ataupun benda. Dia ada di mana-mana. Tuhanku ada di mana-mana, hidup dalam pikiran, dalam darah, dalam setiap nafas, kataku waktu itu pada Ueda.
Kata Ueda, kalau dia melakukan sesuatu hal yang baik, Tuhan akan memberinya pahala, dan membalas kebaikannya dengan hal-hal baik. Misalnya dia menolong orang tua menyeberang jalan, suatu ketika saat dia kesulitan, dia akan menagih Tuhan atas kebaikannya itu.
Aku bertanya, mengapakah manusia menjadi pamrih pada Tuhan. Jikalau tidak ada pahala dan surga, apakah manusia tetap berdoa dan melakukan kebaikan.
Ueda menjawab dengan tersenyum, dirinya berpengertian bahwa Tuhan menyediakan semacam reward untuk kita, dan kita bisa mencairkan reward itu pada saat kita menghadapi kesulitan.
Pengertianku sungguh berbeda, kukatakan padanya, justru kita yang seharusnya membalas kebaikan Tuhan, setiap pagi Tuhan yang membiarkan mata kita kembali terbuka, membiarkan hidup kita menghirup udara segar, membiarkan kita makan makanan yang penuh berkah, dan memberi kita kesehatan agar terus bisa beribadah dan mengingatNya.
Ueda mengerutkan alis.
Aku tersenyum padanya.
Dia membuka mulut dan bertanya, apakah Tuhanmu juga mengizinkan manusia untuk berbohong. Aku menjawab cepat, tentu tidak.
Ueda menoleh, dan berkata dengan lirih. Aku benci padamu, mungkin itu satu-satunya jalan agar persahabatan kita tetap terjaga.
Aku heran. Apa maksud perkataanmu. Aku memegang pundaknya, seakan mencoba memaksa Ueda untuk meralat apa yang baru saja dia katakan.
Ueda menunduk kembali, kamu bohong katanya.
Aku kaget mendengarnya. Apa maksudmu Ueda, aku sungguh tak mengerti.
Tuhan baru saja membiarkanku berbohong, katanya.
Berbohong apa, aku mendesaknya untuk bicara.
Aku baru saja melakukan white lies, apakah Tuhan mengizinkan white lies, dia kembali bertanya padaku.
menatapku lekat, bohong tetaplah bohong Hanna, meskipun yang putih sekalipun. Tuhan tak pernah melarang manusia untuk berbohong, Dia membiarkan kita melakukannya. Membuat kita sakit atas apa yang kita lakukan.
Aku memegang tangannya, mencoba tegar dengan kata-kata terakhirnya, Ueda Tuhan memang membiarkan kita berbohong, bahkan seakan jika kau lihat Tuhan membiarkan kita membubuh saudara kita, memperkosa wanita lain, berselingkuh, curang dan perbuatan yang buruk lainnya. Tapi harus kau tahu Ueda, Tuhan sudah punya rencana, bahkan sebelum kita ada, rencana itu sudah dipersiapkan, bahwa Tuhan memberikan semua keburukan sebagai ujian untuk kita manusia, agar selalu mengingatnya, untuk selalu dekat dengannya. Keburukan itu bisa kita hindari Ueda. Mungkin bisa kuralat, keburukan itu ada, Tuhan menyediakan agama untuk menjadi jembatan menghindari segala keburukan itu. Keburukan itu pilihan Ueda, bukan keharusan.
Ueda terdiam, dan berkata, tapi Tuhan baru saja membiarkanku berbohong, kau tau maksudku.
Kau bisa memilih untuk tidak berbohong Ueda.Aku meneruskan, mencoba bersabar.
Tuhan tidak meninggalkan pilihan untukku Hanna, tidak ada pilihan selain berbohong. Ueda tertunduk.
Aku menyibakkan gerai-gerai rambut di wajahnya, lantas mengapa harus berbohong Ueda.
Karena aku harus Hanna, harus, aku tak bisa membiarkanmu dan yang lain tahu, bahwa aku... . Terhenti, kemudian Ueda kembali terdiam.
Bahwa kau apa. Aku menatapnya penuh tanda tanya.
Bahwa aku baru saja berbohong, dan aku bersyukur, Tuhan tahu aku berbohong, tapi membiarkanku melakukannya. Ueda beranjak dan kemudian berjalan menjauh.
terbangun dengan cecap keringat yang membasahi mukaku. Menelesak jauh di dalam hati, Ueda berbohong pada semuanya demi aku dan kebaikanku. White lies. Apalah gunanya orang harus bersusah payah berbohong demi sebuah kebaikan bagi orang lain.Aku tak mengerti.

Tuesday, September 16, 2008

aku kecewa padanya

aku mencoba memberanikan diri mem-buzz nya saat kulihat Ueda online. BUZZ. Tidak ada jawaban. Tiba-tiba aku merasa malu pada diriku sendiri. Sebegitu inginnya aku menghubunginya, setelah kutinggalkan dia sendiri. Aku tidak mengerti. Hasrat ku untuk mengetahui keadaannya memuncak sedemikian besar. Semakin keras aku berusaha untuk menikmati Jerman semakin sakit hatiku menahan keinginanku untuk mendengar dia berkata "mossi-mossi" di telepon dan memBUZZ account YM ku, mengajakku mulai membicarakan sesuatu.
PENCIL_CASE invite you as friend.
pencil_case, siapa pencil_case, aku bertanya dalam hati. Add as friends.
kuketik "Hai" dan dia sama sekali tidak menjawab.
kuketik lagi "yasudah" tetap tidak ada jawaban.
kututup chat room kami. jerman_rookies dan pencil_case.
semenit kemudian, BUZZ dari pencil_case.
kuketik "siapa ini".
pencil_case is typing message.
"hai"
kujawab "hai"
masih tetap menunggu.
"hanna?"
wew teman lama rupanya, hatiku gembira sekali, berada di tempat jauh seperti ini, mendapati ada seorang teman yang ingat padamu sungguh kenyataan yang sangat menggembirakan.
"iya, maaf ini siapa yah?"
"where r u now?"
kujawab "sorry, but who is it?"
"its me"
"who?"
"you dont recognize me?"
"sure i dont"
"try to guess"
"i dont like guessing"
"view my web cam"
"no way, before you mention your name"
"it is important for you?"
"yes"
"try to view my cam"
"no way"
"ok I close the room now, is like I dont need to get to know you"
"hey where you know my name?"
"i knew you"
"who are you?"
"it's me hanna"
"who?"
"Dirga, gotcha!!!"
"sinting"

Sunday, September 14, 2008

waduh...hari ini Divisiku kena marah pak Pinwil lagi

siapa suruh punya alat taun jebot gitu. Kita dah yang disalahin. Pas udah pengumuman teriak-teriak ga ada denger, pas di benerin bunyi grebek2 kedengeran Gubrek-gubrek pas volumenyah keras secara ajaib dan sampailah dengan selamat senatusa ke ruang Pinwil.
Jadilah manajerku di cerewetin sampai mampus. hahahhahahah. Untungnya manajerku ga marah ke aku (baca:biang kerok masalah ini) . huff...
besok harus tulis otorisasi ke Logistik untuk pengadaan alat baru, gila ajah kalo setiap mo pengumuman microphonenyah kudu grebek2 dulu bisa lama2 dipecat.
ya ampun nasib2...
susahnya cari uang.

Monday, September 8, 2008

koibito yo

Ueda, ayo kita adu kekuatan. Siapa yang paling kuat, dia yang menang. Si pemenang bisa tertawa di akhir acara kita. Bisa mengejek sepuas hati kepada si kalah. Kita ini sekarang sedang bertarung, siapa yang paling kuat menahan perasaan, dia yang menang.
Aku menang Ueda, aku menang, kamu yang pertama mengisyaratkan rasa itu padaku. Dan itu berarti kamu kalah. Kalah beberapa langkah dari aku.
Dan aku menang, menang karena aku tidak akan dimusuhi sahabat-sahabat kita. Menang karena aku pintar menyembunyikan perasaanku, aku memenangkan semuanya, sahabat, rasa percaya, keluargaku, kuliahku, cita-citaku, dan kamu Ueda. Aku memenangkan pertandingan dalam diam kita.
Tapi hatiku terasa sakit ketika aku merasa bahwa aku menang atas segalanya. Tapi mataku basah saat merasa aku memiliki segalanya, kecuali kejujuran dan keberanian untuk mengungkapkan sesuatu.
Sakit diri ini saat menyadari bahwa rasa terkadang sulit untuk dikatakan. Terlalu berat untuk diberikan. Aku dan segala pertimbanganku, aku dan segala gengsiku, aku dan segala kekuranganku, dan ketidakjujuran ini walau sebenarnya aku memendam perasaan ini sampai dadaku hampir meledak setiap kali bertemu dengannya.
"wake up !!!" aku tersontak kaget, terbangun dengan rasa pegal yang sebegitu parah di tangan. Aku melihat Diandra yang tersenyum di sebelahku.
"menulis blog sampai malam lagi?" Diandra mengeryit tampak tak senang.
"eh iyah" sialan aku ketiduran dan lupa menutup halaman blog ku.
"masih menulis tentang Ueda lagi?" Diandra menarik nafas berat.
Aku dengan cepat men klik tanda silang merah di pojok kanan atas layar komputer. Dan halaman itu lenyap.
"Tidak perlu seperti itu Na, aku sudah baca semuanya, tulisan terbarumu yang mati2an kamu lock privat agar kami tak bisa membacanya, KOIBITO YO, hahahhahah itu Ueda khan, kamu mencintainya dan ohhh.... jangan bersikap seperti itu" Diandra melenguh melihat wajahku yang berubah pucat secara tiba-tiba.
"You have my mouth seal for this" Diandra tersenyum dan pergi, menoleh ketika sampai ke pintu kamarku "have a nice dream Hana", meninggalkan aku yang diliputi rasa takut yang teramat dalam, sanggupkah aku jauh dari Sasti, Jason, Noel dan Diandra, ataukah memang sebegini beratnya hanya untuk berusaha jujur bahwa kita mencintai seseorang yang tidak boleh kita cintai. Sanggupkah aku dekat dengan yang seseorang sedangkan yang lain tidak.