Tuesday, August 26, 2008

move to Germany (Christina Aquilera-Hurt)

“eat this!” Sasti menyorongkan sebuah buku catatan bersampul hitam bertuliskan -for Shasty- itu kepada Noel yang langsung melongo memandang Sasti yang berlalu sembari mengomel.
Noel mengejarnya, dan Sasti berteriak “stay where you are Noel, or I’ll send you to jail” Sasti memang selalu seperti itu, mengancam setiap orang dengan akan mengirimnya ke penjara, wonder why.
Sasti berteriak saat Noel mendekatinya lagi. “you, slave, if Jason really loves me, send him over, and once again…” Sasti berpaling lagi ke arah Noel dan meneruskan berteriak, “and…teach Jason how to spell my name” Sasti menghentakkan kakinya dan pergi sambil terus melirik Jason, marah.
Aku melihat Jason cekikikan melihat Noel diomeli habis-habisan oleh Sasti, Jason memang seperti itu, seorang oportunis, tidak mau susah dan selalu Noel yang mati-matian jadi kacungnya, demi yah…demi untuk bisa mendapatkan akses lebih mengenal gadis-gadis dan mengencaninya dalam gelap. Dua meter di dekat Jason ada Ueda yang duduk santai melihat ke arah lain, terdiam dan tak bergeming. Diandra yang semula berdiri mematung di dekatku berlari menggandengku mengejar Sasti.
Diandra, aku sudah mengetahui kalau dia menyukai Sasti sejak kami bertiga lulus sekolah dasar di Turki, kami bertiga dilahirkan dari keluarga berkebangsaan Indonesia, selain Sasti yang ibunya adalah warga negara Norwegia. Kami bertiga berjanji untuk saling menjaga ketika kami bersama di sebuah negara tanpa teman, tanpa harapan untuk mendapatkan sahabat secepat dan sebanyak yang kami harapkan. Kehidupan kami yang selalu berpindah mengharuskan kami cukup puas dengan berkenalan singkat selama paling lama setahun dan kemudian di teruskan dengan saling bertukar alamat elektronik.
Ayahku sendiri adalah seorang dosen lepas sebuah universitas di Turki, menikahi ibuku yang notabene mahasiswanya, dan kemudian hadir aku, yang kemudian resmi didaulat ayah untuk menjadi teman setia ibu dikala ayah harus bertugas ke luar negeri lagi. Menginjak umurku yang ke dua belas, ibu dan ayah mulai mengajakku keluar Turki, dan akhirnya memutuskan untuk menetap di negara kelahiran ayah dan ibu, Indonesia.
Turki, di sanalah akhirnya kami bertiga, aku, diandra dan sasti pada akhirnya memutuskan untuk kembali, meneruskan sekolah menengah atas kami, setelah menghabiskan beberapa tahun lebih banyak di Indonesia untuk menyesuaikan dengan kurikulum sekolah menengah pertama di Indonesia.
Diandra, orang tuanya adalah pengusaha restoran dan toko roti di Turki, kakaknya Dirga sudah fasih berbahasa Turk kala itu, karena lahir dan besar di sana lebih lama, Dirga sudah mengenal Turki lebih baik dari pada dia seharusnya mengenal ibu Negara kebangsaannya, Indonesia.
Sungguh mengurus keperluan imigrasi dan ijin tinggal tidaklah sesulit dan serumit yang orang bayangkan, kami mendapat banyak kemudahan untuk mengurus segala dokumen-dokumen tinggal kami di Turki.
Sasti, orang tuanya adalah pekerja seni, ayah ibunya memiliki galeri seni di tengah kota St.Petersburg, memiliki rumah besar yang mewah, disanalah pada akhirnya kami sering menghabiskan waktu, saling bersumpah untuk saling menjaga dan tetap bersama.
Di sekolah menengah Turki pula kami bertiga berjumpa dengan ketiga yang lain, Jason yang berkewaganegaraan Amerika Serikat, Noel yang berwarganegaraan Irlandia dan terakhir Ueda yang berkebangsaan Jepang. Kami berenam bertemu ketika sama-sama membeli tiket untuk konser Lenny Kravitz di lapangan bundar St.Petersburg.
Lenny Kravitz, menyatukan tujuan menonton konser kami yang ternyata berbeda pada akhirnya. Aku, menonton Kravitz karena single I’ll be waiting, Diandra, yang karena mengantarkan Sasti, Sasti, karena ingin mengoleksi tanda tangan Kravitz, Jason, yang ingin menebar pesona lebih dari pada mr.kravitz sendiri, noel yang karena mendukung kampanye tebar pesona Jason, dan ueda, yang karena kravitz berkebangsaan Rusia.
Kami berenam berteman pada akhir konser, membawa kenangan sendiri-sendiri yang tidak bisa dibagi. Pertemuan kami di hari-hari berikutnya, membuat kami sebuah kelompok yang tidak bisa dipisahkan, yang satu menjadi pelindung yang lain, dan tidak ada yang bertahan untuk yang seorang sedangkan untuk yang lain tidak, sebuah janji yang kami junjung tinggi selayaknya nyawa kami sendiri.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, jika hidup itu sungguh sulit untuk dimengerti, sungguh misteri yang tidak akan bisa diramalkan.
Tak pernah kusangka bahwa Ueda akan menyukaiku dan aku akan selalu bergetar bila di dekatnya. Kelas dua sekolah menengah, saat Ueda mulai untuk pertama kali mengirimkan tulisan “ommoshiroi” di bangku sekolahku, yang hasilnya dia dihukum berdiri di luar kelas selama pelajaran berlangsung hari itu.
Aku tidak pernah memperhatikan Ueda yang selalu tertunduk dan muram, jika diamnya itu untuk semua ini, jika diamnya itu untuk mengumpulkan semua keberanian ini pada akhirnya. Maka aku berdosa besar padanya.
Ke Indonesia hanya untuk memberiku dua tiket ke Jepang di akhir masa tinggalnya, semua percakapan intim itu, semua kedekatan itu, semua senyum untuknya, semua perhatian yang tidak pernah kuberikan pada yang lain, untuk semua telepon dan pesan, untuk pelukan itu, aku memberinya peluang untuk menyukaiku, aku membuka harapan untuknya, untuk membuatnya merasa aku memperhatikannya, membiarkannya mengira aku juga mencintainya, membuatnya yakin bahwa cinta itu ada antara aku dan dirinya. Ohh…Tuhan..aku menutup album foto itu dengan sesal yang melesak sedemikian dalam, aku yang menyakitinya, mengangkatnya dan menjatuhkannya dengan keras di waktu yang sama. Aku dan bukan dia. Jika pun aku juga mencintainya, maka aku terlalu malu untuk mengatakannya, karena Ueda adalah sahabat?, bukan, karena ueda adalah pria pemurung yang tidak ingin melanjutkan kuliahnya, yang tidak ingin kehidupan yang lebih baik, yang dia tahu hanya menghabiskan uang orang tuanya untuk berkeliling dunia, hanya karena aku malu, hanya karena sebuah gengsi aku menyakitinya, dan karena hanya aku tidak ingin yang lain tahu bahwa aku telah bertahan untuk yang satu sedang aku tidak melakukannya untuk yang lain. Ueda aku harap, dimanapun dia saat ini, kuharap dia bisa memaafkan aku, atau setidaknya jika itu terlalu berat, maka cukup dengan merasa benci dan lalu menganggap aku tidak pernah ada di dalam hatinya.

Ueda Tsukishiro, 24 tahun, Mei 2008, Matsuyama, Japan, no clue, then should I find him?.
Coretan untuk sebuah misi sulit, mencari Ueda dan mengatakan aku pun mencintainya.

Aku beranjak, dan kemudian kembali lagi duduk di atas ranjang. Tapi untuk apa, tertunduk, lama sekali aku berpikir. Semua untung rugi aku mencarinya, semua efek yang akan terjadi, jika aku menemukannya pun Ueda tidak akan pernah mau mengenalku lagi. Kuurungkan niat besarku tadi, kuletakkan album foto itu di bagian paling bawah semua tumpukan buku-buku bekasku, mengepaknya dalam sebuah kardus dan menyimpannya di dasar lemari dan menguncinya, last touch, kuncinya akan kubuang di dasar sungai Mainne ketika sampai di Jerman nanti, dalam hati aku berdoa, God help me forget where I put this box down today, and don’t ever shown me even just a little clue which reminds to this one.

No comments: